🌑 Talempong Yang Bernada Rendah Disebut

Talempongadalah alat musik bernada diatonis (do, re, mi, fa, sol, la, ti, do) (suara rendah) disebut wadon, sehingga musik genggong selalu dimainkan secara berpasangan. Musik genggong secara orkestra dapat dimainkan dengan alat musik yang lain seperti petuq, seruling, rincik dan lain-lain. Gending pengiring yang disebut parianom tidak 15 Talempong. Talempong adalah alat musik tradisional kebanggaan Minangkabau, Sumatera Barat. Dalam upacara adat, alat musik ini tentunya sering hadir untuk mengisi kemeriahan acara adat tersebut. Talempong terbuat dari campuran tembaga, besi putih dan timah. Kualitas talempong dapat diukur dari kandungan ketiga bahan dasar tersebut. Salahsatu bentuk gangguan pendengaran yang jarang kita ketahui adalah gangguan pendengaran frekuensi rendah. Atau yang sering disebut sebagai gangguan pendengaran "reverse-slope"(kemiringan terbalik). Nama ini digunakan karena tampilannya pada audiogram. Berupa bagan standar yang digunakan audiolog dan spesialis alat bantu dengar untuk mengukur tingkat pendengaran selama pengujian berbentuk ALATMUSIK TRADISIONAL - Indonesia merupakan salah satu negara yang terdiri dari beragam suku bangsa, budaya, adat-istiadat dan lain sebagainya, yang terbentang luas mulai dari Sabang sampai Merauke.. Maka dari itu, tak heran jika Indonesia disebut sebagai negara paling kaya. Salah satu contoh kecilnya adalah keberagaman alat musik tradisional berikut ini. Alatmusik ritmis yang satu ini terbuat dari kayu dengan rongga yang ditutup kulit sapi. Kendang memang biasanya digunakan dalam musik-musik tradisional. Belakangan, musik kontemporer juga sudah menggunakan alat musik ini sebagai pengiringnya. Cara memainkan kendang adalah dipukul bagian kulit atau yang sering disebut sebutan kendang. Angklung( Aksara Sunda Baku: ᮃᮀᮊᮣᮥᮀ) adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dari masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap AlatMusik Tradisional Indonesia. 1. Angklung. Angklung. Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan. (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga InstitutAgama Islam Negeri Ternate yang selanjutnya disebut Institut adalah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di bawah Kementerian Mars Institut merupakan lagu bernada sedang (bariton), tinggi (sopran), dan rendah (bas) berkombinasi, bertempo agung, tenang, optimis, berjiwa Pancasila, dan mencerminkan cita-cita Institut. BentukGender menyerupai gangsa pada gamelan Bali serta slenthem yang terdapat pada gamelan Jawa. Gender memiliki 10 hingga 14 bilah logam (kuningan) bernada yang digantung pada berkas, di atas resonator dari bambu atau seng. 9. Kendang. Sumber gambar: wikipedia. Selanjutnya, alat musik dari Jawa tengah sebagai bagian dari Gamelan Jawa adalah LvYRq. GESER Beratus tahun, rancak talempong menggema di ranah Minang. Perubahan sesuai dinamika masyarakat, termasuk menjadi produk hiburan, membuat talempong tak lagi canggung dikawinkan dengan alat musik modern. Dengan cara itu, talempong bertahan melintasi zaman. Bunyi talempong telah menggema di ranah Minangkabau selama beberapa ratus tahun. Dari alat musik di lingkungan istana atau kerajaan, perlahan alat musik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minang. Keberadaan talempong di bumi Minangkabau tercatat sejak abad ke-14. Dia tak lenyap ditelan zaman, tetapi membuktikan bahwa dia digdaya melintasi perubahan zaman. Kini, talempong dimainkan anak-anak muda berbagai usia dalam warna musik yang lebih beragam. Keberadaan talempong sangat erat dengan unsur folklore. Kisah asal-usulnya itu kebanyakan bersumber dari tambo, yaitu kisah yang disampaikan turun-temurun secara oral dengan versi berbeda-beda. Salah satu versi menyebutkan, konon talempong berasal dari Pariangan yang disebut-sebut sebagai asal mula nenek moyang orang Minangkabau. Sementara versi lainnya menyatakan, talempong berasal dari India Belakang, dibawa oleh keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain. Jennifer A Fraser dalam buku Gongs & Pop Songs Sounding Minangkabau in Indonesia menyebutkan, tidak ada bukti arkeologi atau bukti sejarah yang secara akurat menyebutkan asal-usul talempong. Namun, menurut Margareth J Kartomi 1998, diperkirakan talempong sudah ada sejak masa kedatangan Islam di Sumatera pada akhir abad ke-13. Dalam artikel Musical Strata in Sumatera, Java and Bali, Margareth menyebutkan, para perajin perunggu dari Tonkin, utara Vietnam, datang ke Minangkabau beberapa abad sebelum Masehi. Pada zaman yang disebut Zaman Perunggu itu diperkirakan talempong dan juga gong dibawa oleh nenek moyang orang Minangkabau. GESER Diperkirakan talempong sudah ada sejak masa kedatangan Islam di Sumatera pada akhir abad ke-13. Talempong awalnya hanya bernada pentatonik. Dalam perkembangannya, talempong dikembangkan menjadi diatonik sehingga bisa dikolaborasikan dengan alat musik modern. Instrumen gamelan yang berpasangan dibedakan menjadi lanang dan wadon, atau lelaki dan perempuan. Peran masing-masing “jenis kelamin” adalah memainkan not polos atau not sangsih. Kombinasi permainan polos dan sangsih menciptakan efek kebyar keras, cepat, dan berkaitan. Pada akhir kekuasaan Adhityawarman 1347 di Minangkabau, kebudayaan musik yang meliputi gong dan talempong menjadi simbol, prestise, dan kebesaran raja. Seperti disebutkan oleh Antony Reid 1995 dan Mahdi Bahar 2009, tahun 1550-an, musik perunggu yang menggunakan kettle drums, yaitu alat musik idiofon terbuat dari metal, yang diyakini adalah talempong, merupakan musik dari tradisi kerajaan Minangkabau. Alat musik ini konon biasa dipergunakan untuk menyertai keberangkatan raja bersama rombongan tatkala menemui orang-orang Portugis di Pantai Tiku. Pantai Tiku adalah salah satu pantai indah yang terletak di Kabupaten Agam. Saat ini, Kabupaten Agam, khususnya Sungai Puar, dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan talempong. Alat musik yang terbuat dari bahan yang terdiri dari campuran logam tembaga, timah putih, dan seng ini dibuat dengan teknik a cire purdue, yaitu cara pembuatan alat berbahan logam dengan lebih dulu membuat patron atau bentuk dasarnya. Bahannya menggunakan lilin. Patron atau bentuk dasar tersebut selanjutnya dibalut tanah liat, dikeringkan dengan cara dijemur, kemudian dibakar. Setelah pembakaran, cairan lilin dikeluarkan sehingga memunculkan rongga yang lantas diisi cairan logam. Setelah cairan logam membeku, baru dilakukan proses penggerindaan, pemolesan, dan penyeteman nada. Teknik pembuatan a cire purdue pada talempong membedakan dengan teknik pembuatan gamelan Jawa yang menggunakan metode tempaan. GESER Berlatih Mahasiswa di Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat, berlatih alat musik Talempong, Selasa 13/2. Institusi pendidikan seni seperti ini menjadi salah satu tempat yang diharapkan bisa melestarikan talempong. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho GESER Talempong tradisional Kelompok talempong tradisional “Bunian Mandeh” Sikabu-Kabu, Payahkumbuh, Sumatera Barat, Selasa 13/2, tengah memainkan alat musik talempong pacik. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Memainkan Talempong Mainkan contoh musiknya, lalu gunakan keyboard atau klik pada gambar talempong untuk memainkan irama talempong tersebut! Sunandar Raiska Putra yang merupakan generasi ketiga pembuat talempong di kawasan Sungai Puar, Kabupaten Agam, mengatakan, diperlukan setidaknya waktu selama 1-1,5 bulan dalam proses pembuatan talempong. ”Saya belajar membuat talempong secara otodidak. Hanya melihat bapak dan kakek. Lama-lama bisa sendiri. Main feeling saja,” ujarnya. Dulu, pembuatan talempong hanya dikuasai oleh ahli talempong yang disebut tuo talempong. Merekalah yang menguasai rahasia pembuatan talempong, termasuk nada-nada yang ”disematkan” pada talempong berdasarkan feeling mereka. Nada asli talempong yang pentatonik terdiri atas lima atau enam nada. Apabila dibandingkan dengan nada diatonik, akan terdengar tidak pas atau seolah meleset di telinga. Dosen Institut Seni Indonesia ISI Padang Panjang, Andar Indra Sastra, dalam disertasinya yang berjudul Konsep Batalun Dalam Penyajian Talempong Renjeang Anam Salabuhan Di Luhak Nan Tigo Minangkabau menyebutkan, dalam proses pembuatan talempong, dilakukan juga proses manyadahi, yakni proses yang bertujuan menjaga kestabilan bunyi talempong sesuai dengan kualitas bunyi yang diharapkan. Untuk menyadahi talempong, diperlukan sejumlah ramuan. Menyadahi talempong dimulai dari beruduk untuk menyucikan diri, membaca mantra, mencampur air-air dengan limau, mengaduk sadah dengan air yang sudah dicampur, mengambil talempong untuk disadahi, mengecek bunyi talempong, serta malimaui atau ”membasahi” talempong. Bengkel Talempong GESER Talempong dengan nada pentatonik biasa dipesan pemain talempong pacik dengan teknik tradisional. Talempong ini dimainkan dengan teknik interlocking atau saling meningkahi sehingga menimbulkan pola irama tertentu. Talempong pacik umumnya dimainkan tiga orang, dengan masing-masing memainkan dua talempong. Saat ini, pesanan talempong tidak hanya dalam nada pentatonik, tetapi juga dalam nada-nada diatonik. Tidak hanya satu oktaf, bahkan bisa lebih dari itu, termasuk nada-nada seperti kres dan mol. Hal ini bisa terjadi seiring dengan makin maraknya talempong kreasi, ketika talempong digabungkan dengan alat musik modern untuk menyuguhkan musik atau lagu yang lebih kompleks ketimbang sekadar pola irama tertentu. Perubahan ini terjadi kira-kira pada kurun waktu tahun 1970-an dengan salah satu pelopornya adalah Yusaf Rahman yang dikenal sebagai salah satu komponis besar asal Minang. GESER Talempong ini dimainkan dengan teknik interlocking atau saling meningkahi sehingga menimbulkan pola irama tertentu. GESER Pembuatan talempong Bengkel pembuatan talempong Anda Saiyo di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, Rabu 14/2. Sungai Puar menjadi wilayah yang dikenal sebagai wilayah pandai besi, termasuk pembuatan talempong. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho GESER Turun-temurun Kemampuan pembuatan talempong di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, diwariskan secara turun temurun dari leluhur. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Dalam buku Yusaf Rahman Komponis Minang yang disunting oleh Nasif Basir, disebutkan bahwa Yusaf pertama kali mengolah tangga nada talempong pentatonik yang terbatas hanya lima not, lalu menciptakan pola tangga nada diatonik. Dengan demikian, alat musik tradisional Minang itu bisa berkolaborasi dengan alat-alat musik lain. Yusaf yang mengawasi pembuatan talempong bernada diatonik tersebut dikerjakan oleh tuo-tuo talempong di Sungai Puar. Dia juga yang mengatur jumlahnya dalam satu meja, menyetem ketepatan nada-nadanya, serta mengatur kualitas suaranya agar sesuai konsep diatonik. Yusaf membagi talempong dalam tiga meja. Meja pertama disebut gareteh atau melodi berisi 16 talempong dalam dua oktaf nada diatonik yang bisa dimainkan dalam 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Meja kedua disebut tingkah atau akord, terdiri atas delapan talempong. Meja ketiga disebut saua, juga terdiri atas delapan talempong. Pengaturan nada talempong ini sama dengan pengaturan nada diatonik pada piano. Sejak itu, talempong bernada diatonik makin marak di Minangkabau. Belakangan, penyeteman nada talempong tak lagi menggunakan feeling, tetapi menggunakan aplikasi di telepon genggam. Upacara manyadahi yang dulu umum dilakukan para tuo talempong pun sudah tidak pernah lagi dilakukan. GESER Bahan baku Bahan baku pembuatan talempong di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, dari logam tembaga, kuningan, dan besi tua, Rabu 14/2. Sulitnya memperoleh bahan baku baru yang berkualitas membuat perajin memilih mendaur ulang logam bekas. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho GESER Menyetem nada Anda Saiyo, perajin di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, menyetem talempong, Rabu 14/2. Penyeteman talempong, terutama talempong diatonik, kini bisa dilakukan dengan menggunakan aplikasi di ponsel cerdas. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Sebagaimana sejarahnya yang memiliki kaitan dengan istana atau kerajaan, dalam perkembangannya, penggunaan talempong dalam masyarakat Minangkabau hampir selalu dikaitkan dengan upacara adat, seperti upacara pengangkatan penghulu dan upacara perkawinan. Meski demikian, talempong juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Fungsinya yang sakral pun terus bertransformasi menjadi makin lentur dengan dinamika masyarakat, termasuk kala menjadi sebuah produk hiburan. Di titik itu, talempong tak lagi canggung bertemu atau dikawinkan dengan alat-alat musik modern. Dinamika Irama Talempong GESER Tak hanya menjadi pengiring berbagai jenis tarian Minang atau digunakan untuk menyuguhkan lagu khas Minang dan lagu Melayu, lagu-lagu Indonesia populer atau modern serta lagu Barat pun mampu dimainkan menggunakan talempong. Dalam lima tahun terakhir juga marak talempong goyang yang menyuguhkan talempong dalam lagu-lagu campursari atau bahkan dangdut, dengan memasukkan unsur-unsur gendang sunda. Hal ini harus diakui menjadi salah satu daya tarik bagi anak-anak muda agar mereka mau berkenalan dengan talempong. Febrian Maldi 18, siswa kelas III SMA yang sejak satu tahun ini bergabung di Sanggar Seni Tampuniak, mengaku tertarik belajar talempong karena perpaduan nada dan cara memainkannya yang lebih menantang dibanding alat musik lain. GESER Sajian talempong Kelompok Sanggar Setampang Baniah menyajikan musik talempong di salah satu baralek acara pernikahan di Auditorium Universitas Putra Indonesia, Padang, Sumatera Barat, Jumat 16/2. Talempong kini banyak disajikan dalam pesta pernikahan besar-besaran baralek gadang. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho ”Anak-anak muda harus ditarik agar menyukai talempong. Caranya, dengan menghadirkan talempong dalam bentuk atau kemasan yang modern. Kalau tidak begitu, mereka tidak akan mau,” ucap pengelola Sanggar Seni Tampuniak di Pariaman, Erwindo Tri Ermis. Terkait fenomena itu, dosen ISI Padang Panjang yang meneliti perkembangan musik Minang, Zainal Warhat, menyebutkan, hal itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Hal yang jauh lebih penting adalah talempong terus berjalan alias panjang umur. Begitulah, talempong digdaya melintasi zaman. GESER Perpaduan Talempong piano dimainkan di Sanggar Shofyani, Padang, Sumatera Barat, Senin 12/2 malam. Talempong piano atau disebut "taleno" mengacu pada nada di piano, salah satu inovasi talempong dengan alat musik modern. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho GESER Iringi tarian Alat musik talempong goyang mengiringi latihan tari di Sanggar Seni “Tampuniak”, Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu 17/2. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Kerabat Kerja Penulis Dwi AS Setianingsih, Ismail Zakaria Fotografer Rony Ariyanto Nugroho Videografer Rony Ariyanto Nugroho, Danial AK Penyelaras Bahasa Lucia Dwi Puspita Sari Infografik Luhur Arsiyanto Putra Desainer dan Pengembang Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda Produser Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono Suka dengan tulisan yang Anda baca? Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini. - Alat musik talempong merupakan sebuah alat musik khas yang berasal dari Suku Minangkabau. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan cara dipukul. Biasanya, talempong terbuat dari kuningan, namun ada juga yang terbuat dari kayu dan batu. Ingin tahu lebih jauh mengenai alat musik talempong ini? Apa saja fungsi dari alat musik ini? Serta bagaimana cara mebuatnya dan cara bermainnya? Simak ulasannya berikut ini, yang diragkum dari berbagai sumber. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. Baca JugaJarang Diketahui Orang, Ini 10 Alat Musik Maluku yang Tak Kalah Populer Alat musik talempong memiliki panjang yang bervariasi antara 25 hingga 35 cm. Menurut jenisnya, alat musik talempong dibagi kedalam dua macam, yakni talempong melodis duduak atau duduk dan pacik pegang, biasanya sambil berdiri dan berjalan. Talempong melodis bisa dimainkan dengan berbagai varian nada, diletakkan secara berbaris memanjang di atas 2 bantangan tali atau rel atau rancakan, sehingga ketika dipukul maka talempong melodis akan sedikit melambung ke atas. Sementara untuk talempong pacik pasa saat memainkannya menggunakan teknik interlocking, yakni teknik memainkan nada atau ritme bersaut – saut antara dua instrument atau lebih. Talempong jenis ini memiliki 5 buah nada dasar, yaitu sol, do, mi, re, dan fa. Dan hanya dimainkan oleh 3 orang. Adapun fungsi dari alat musik talempong diantaranya, sebagai alat musik pengiring saat acara upacara pengangkatan penghulu dan pesta perkawinan, pengiring tari, perarakan penghulu baru, menaiki tumah baru, pesta panen raya, acara pertunjukkan randai, acara gotong royong, upacara sunar Rasul, acara sabik – iriak, penyambutan tamu nagari, dan acara tujuh belasan. Baca Juga5 Jenis Alat Musik Jawa Barat, Salah Satunya Ada yang Sudah Mendunia Apabila ingin membuat sebuah talempong, diharuskan membuat lilinnya terlebih dahulu. Untuk membuat talempong lilin, diperlukan sebuah alat cetakan yang mirip serupa dengan bentuk talempong yaitu cetakan talempong yang terbuat dari logam kuningan dengan tujuan mempermudah pembuatan talempong lilin. Foto – Talempong merupakan alat musik tradisional khas Minang. Bahannya terbuat dari kuningan, bentuknya lingkaran berdiameter antara 15–17,5 cm dan tinggi 8 cm dengan bagian bawah berlubang. Bunyi yang dihasilkan alat musik itu berasal dari kayu yang dipukulkan pada bagian bundaran di bagian atasnya. Alat musik ini mengiringi hampir setiap upacara adat Minang. Talempong juga digunakan untuk mengiringi sejumlah tarian serta sebagai musik penyambutan tamu istimewa. Alat musik pukul khas Minang ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu di bumi Minangkabau. Awalnya, alat musik tersebut bersifat sakral dan hanya dimainkan di lingkungan istana kerajaan. Seiring berjalannya waktu alat musik itu semakin populer. Kini keberadaannya menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minang. Talempong bahkan bisa dikatakan sebagai alat musik yang paling mewakili identitas sekaligus menjadi kebanggaan orang Minangkabau. Keberadaan alat musik sejenis bonang ini di tanah Minang tercatat sejak abad ke-14. Instrumen musik tradisional ini tak hanya mampu melintasi zaman, tetapi membuktikan mampu bertahan dalam perubahan zaman. Saat ini, talempong dimainkan oleh masyarakat dari beragam usia dalam warna musik yang lebih beragam di hampir seluruh Sumatra Barat. Sejarah keberadaan talempong diceritakan dalam tambo, yaitu kisah yang disampaikan turun-temurun secara oral dengan versi berbeda-beda. Salah satu versi menyebutkan bahwa talempong berasal dari Pariangan yang dipercaya merupakan tempat nenek moyang orang Minangkabau berasal. Sementara versi lainnya menyatakan, instrumen tersebut berasal dari India dan dibawa oleh keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain. Memang tidak ada bukti arkeologi atau bukti sejarah yang secara akurat menyebutkan asal-usul alat musik itu. Meski demikian, diyakini alat musik tersebut sudah dimainkan sejak masa kedatangan Islam di Sumatera pada akhir abad ke-13. Bahkan ada dugaan, sebenarnya talempong sudah ada jauh sebelum masa itu. Konon, alat musik tradisional itu dibawa oleh para perajin perunggu dari Tonkin, di utara Vietnam, yang datang ke Minangkabau pada Zaman Perunggu, beberapa abad sebelum Masehi. Awalnya, alat musik khas Minang itu hanya bernada pentatonik. Pada jenis ini, seperangkat alat musik talempong pacik dijinjing dimainkan oleh tiga orang. Setiap orang memainkan dua buah dengan cara dijinjing menggunakan tangan kiri dalam posisi vertikal dan dipukul dengan kayu pemukul menggunakan tangan kanan. Talempong yang sebelah atas dijepit dengan ibu jari dan telunjuk, sementara yang sebelah bawah digantungkan pada jari tengah, manis, dan kelingking. Jari telunjuk berfungsi sebagai pemisah di antara talempong agar tidak bersentuhan agar nada yang dihasilkan berbunyi nyaring. Seiring waktu, dikembangkan jenis kreasi baru dengan nada diatonik sehingga bisa dikolaborasikan dengan alat musik modern. Pada jenis ini, talempong diletakkan di atas real atau rancakan. Cara memainkannya tidak jauh berbeda dengan jenis yang pertama, yaitu dipukul dengan stik pemukul. Talempong bernada diatonik dimainkan dengan sistem melodi, mengacu pada beberapa lagu yang ritmik dan bisa dikolaborasikan dan dimainkan bersama dengan alat musik lainnya. Sejarah Pada akhir kekuasaan Adhityawarman 1347 di Minangkabau, alat musik yang meliputi gong dan talempong merupakan simbol, prestise, dan kebesaran raja. Pada 1550-an, musik perunggu yang menggunakan kettle drums, yaitu alat musik idiofon terbuat dari metal, merupakan musik dari tradisi kerajaan Minangkabau. Diyakini alat musik tersebut adalah talempong. Alat musik ini konon biasa dipergunakan untuk menyertai keberangkatan raja bersama rombongan tatkala menemui orang-orang Portugis di Pantai Tiku yang terletak di Kabupaten Agam. Saat ini, Kabupaten Agam, khususnya Sungai Puar, dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan talempong. Dulu, alat musik ini terbuat dari batu dan kayu. Kini, alat musik pukul itu terbuat dari kuningan. Meski bentuk talempong mirip dengan bonang pada gamelan Jawa, kedua alat musik tersebut dibuat dengan teknik yang berbeda. Talempong menggunakan teknik pembuatan a cire purdue, sementara bonang dibuat dengan metode tempaan. Teknik a cire purdue adalah cara pembuatan alat berbahan logam dengan lebih dulu membuat cetakannya. Cetakan tersebut dibuat dari lilin, kemudian dibalut tanah liat, dikeringkan dengan cara dijemur, lalu dibakar. Setelah pembakaran, cairan lilin dikeluarkan sehingga memunculkan rongga yang lantas diisi cairan logam. Setelah cairan logam membeku, baru dilakukan proses penggerindaan, pemolesan, dan penyeteman nada. Dulu, pembuatan alat musik itu hanya dikuasai oleh para ahli yang disebut tuo talempong. Merekalah yang menguasai rahasia pembuatan talempong, termasuk nada-nada yang ”disematkan” pada alat musik itu dengan hanya berdasarkan naluri pendengaran saja. Nada aslinya yang pentatonik terdiri atas lima atau enam nada. Apabila dibandingkan dengan nada diatonik, akan terdengar tidak pas atau seolah meleset di telinga. Talempong dengan nada pentatonik biasa dipesan pemain talempong pacik dengan teknik tradisional. Jenis tersebut ini dimainkan dengan teknik interlocking atau saling meningkahi sehingga menimbulkan pola irama tertentu. Saat ini, pesanan talempong semakin beragam, tidak hanya dalam nada pentatonik, tetapi juga dalam nada-nada diatonik. Nada yang bisa dimainkan juga tidak hanya satu oktaf, tapi bisa lebih dari itu, termasuk nada-nada seperti kres dan mol. Hal ini bisa terjadi seiring dengan makin maraknya talempong kreasi. Dengan menggabungkan talempong bersama alat musik modern, instrumen musik tradisional tersebut bisa digunakan untuk mengiringi lagu yang lebih kompleks ketimbang sekadar menghasilkan pola irama tertentu. Perkembangan talempong kreasi terjadi kira-kira pada kurun waktu tahun 1970-an. Salah satu pelopornya adalah Yusaf Rahman, seorang komponis besar asal Minang. Yusaf pertama kali mengolah tangga nada talempong pentatonik yang terbatas hanya lima not. Ia kemudian menciptakan pola tangga nada diatonik. Dengan demikian, alat musik tradisional Minang itu bisa dikolaborasikan dengan alat-alat musik lainnya. Yusaf yang mengawasi pembuatan talempong bernada diatonik tersebut yang dikerjakan oleh tuo-tuo talempong di Sungai Puar. Dia juga yang mengatur jumlahnya dalam satu meja, menyetem ketepatan nada-nadanya, serta mengatur kualitas suaranya agar sesuai konsep diatonik. Yusaf membagi talempong dalam tiga meja. Meja pertama disebut gareteh atau melodi berisi 16 talempong dalam dua oktaf nada diatonik yang bisa dimainkan dalam 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Meja kedua disebut tingkah atau akord, terdiri atas delapan talempong. Meja ketiga disebut saua, juga terdiri atas delapan talempong. Pengaturan nada talempong ini sama dengan pengaturan nada diatonik pada piano. Inovasi yang dilakukan Yusaf ini sempat menimbulkan pro-kontra. Namun, keinginannya untuk menghasilkan talempong tak membosankan sehingga lebih bisa dinikmati membuatnya kukuh. Sejak itu, talempong bernada diatonik makin marak di Minangkabau. Belakangan, penyeteman nada talempong tak lagi hanya menggunakan feeling, tetapi menggunakan aplikasi di telepon genggam. Upacara manyadahi yang dulu umum dilakukan para tuo talempong pun sudah tidak pernah lagi dilakukan. Sebagaimana sejarahnya yang memiliki kaitan dengan istana atau kerajaan, dalam perkembangannya, penggunaan talempong dalam masyarakat Minangkabau hampir selalu dikaitkan dengan upacara adat, seperti upacara pengangkatan penghulu dan upacara perkawinan. Meski demikian, talempong juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Fungsinya yang sakral pun terus bertransformasi menjadi makin lentur seiring perkembangan masyarakat. Alat musik tersebut kini tak hanya mengiringi upacara adat, tetapi juga menjadi sebuah produk hiburan. Ini dimungkinkan dengan perkembangan talempong kreasi yang membuat alat musik tradisional tersebut tampil dengan luwes bersama alat-alat musik modern. Tak hanya menjadi pengiring berbagai jenis tarian Minang atau digunakan untuk menyuguhkan lagu khas Minang dan lagu Melayu, lagu-lagu Indonesia populer atau modern serta lagu Barat pun mampu dimainkan menggunakan talempong. Dalam lima tahun terakhir juga marak talempong goyang yang menyuguhkan talempong dalam lagu-lagu campursari atau bahkan dangdut, dengan memasukkan unsur-unsur gendang sunda. Memberikan bentuk baru pada talempong dengan penggunaannya yang lebih luwes merupakan upaya agar anak muda tertarik untuk berkenalan dengan talempong. Hal ini penting agar alat musik tradisional khas Minang ini mampu bertahan. Dengan cara inilah, talempong tak hanya mampu bertahan, tapi juga berkembang seturut kemajuan zaman. Pertunjukan Keberadaan Talempong begitu penting dalam masyarakat Minangkabau. Hampir pada setiap upacara adat, alat musik ini hadir. Perkembangan talempong kreasi juga tak menghilangkan keberadaan talempong pacik yang tetap bertahan di tengah masyarakat. Biasanya talempong digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring, Tari Pasambahan, Tari Payung, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan sebagai musik untuk menyambut tamu istimewa. Alat musik tradisional juga ini merupakan salah satu komponen penting dalam ritual perkawinan khas Minang. Talempong mengiringi proses maarak marapulai, yaitu mengarak calon pengantin pria ke rumah calon anak daro atau pengantin perempuan. Biasanya, talempong dimainkan bersama beberapa alat musik lainnya, seperti akordeon, saluang, gandang, dan serunai. Saat ini, alat musik pukul tradisional ini juga berpadu dengan alat musik modern, seperti kibor, gitar, dan bas.

talempong yang bernada rendah disebut